Aurora adalah cahaya
warna-warni yang menari-nari di udara. Itu biasanya terjadi di kutub bumi,jauh
di ujung dunia (di Indonesia belum pernah ada). Kalian tau asal-usul aurora
seperti apa?? Nah, sekarang bacalah cerita berikut…
Dulu, tinggalah satu keluarga
yang miskin diantara mereka. Tidak, mereka tidak miskin. Disana mengukur
kekayaan bukan dengan uang, barang-barang mewah, rumah mewah, atau semacam
benda mewah lainnya. Tapi miskin atau kaya amat ditentukan dengan kepemilikan
api. Api untuk menghangatkan diri di malam hari. Api yang memberikan udara
hangat dan nyaman. Keluarga itu tidak memilikinya. Hanya orang-orang dan
golongan tertentu yang diijinkan dan menguasai api. Keluarga itu tidak punya
api. Itu sudah aturan main turun temurun.
Keluarga itu terdiri dari ayah,
ibu, dan seorang gadis kecil berumur 6 tahun. Wajahnya bulat penuh cahaya
kebaikan. Perangainya santun penuh sifat mempesona. Gadis kecil itu rajin
membantu ibunya. Benar-benar anak yang bias diandalkan.
Setiap kepala keluarga di
perkampungan salju itu bekerja sebagai pemburu. Maka itulah pekerjaan sang
ayah; berburu rusa, berburu binatang salju, ikan, apa saja yang bias dimakan.
Sedangkan ibu bertugas menjaga rumah, memasak binatang hasil tangkapan
suaminya, menyamak kulit, membuat pakaian-pakaian tebal.
Hingga suatu ketika, tibalah
masa-masa sulit itu. Selama enam bulan badai musim dingin terus mengungkung
perkampungan. Padahal, lazimnya hanya tiga-empat bulan saja. Membuat sulit
kehidupan. Benar-benar membuat semuanya sulit. Tidak ada lagi rusa di hutan
dekat perkampungan. Danau yang biasanya bias digunakan untuk mencari ikan
sempurna membeku. Persediaan makanan musim panas sudah menipis. Seluruh
perkampungan menghadapi masalah serius.
Dan lebih serius lagi, bagi
keluarga miskin itu. Tidak ada makan, tidak ada api, itu sama saja malam-malam
mereka harus dilalui dengn penderitaan. Malam-malam lebih terasa panjang.
Menggigil kedinginan. Tapi gadis kecil itu tidak pernah mengeluh. Meski gelap,
meski dingin, ia menyibukkan diri bersenandung.
Menatap langit gelap tertutup badai lewat jendela iglo.
Bertanya banyak hal pada
ayah-ibunya. Tentang mengapa malam tidak terasa hangat seperti siang. Mengapa
malam tidak ada cahaya yang memesona seperti matahari. Mengapa dunia tidak siang
saja selamanya. Biar mereka tidak kedinginan, biar mereka tidak perlu peduli
lagi dengan nyala api. Perut gadis kecil itu lapar. Tapi, ia tidak ingin
membebani ayah-ibunya dengan keluh kesah. Hanya bertanya, sambil bersenandung
riang.
Gadis kecil itu bias bersabar
dengan situasi buruk itu… meski ia tidak pernah kunjung mengerti mengapa igloo
lainnya terlihat terang dengan cahaya api, sedangkan igloo mereka tidak. Dulu
ia suka bertanya hal itu, tapi ayahnya hanya bilang soal siapa yang berhak,
siapa yang tidak. Ayahnya malah menjawab itu amat dilarang. Entahlah.
Membuatnya takut bertanya lagi. Takut karena katanya bakal mucul nga raksasa
yang mengamuk membakar seluruh pedesaan jika ada yang berani tanya-tanya soal
aturan main itu.
Di bulan kesepuluh sejak badai
salju mengungkung pedesaan, ayahnya yang pergi
berburu suatu hari tidak pernah kembali. Ditunggu semalaman, tidak juga
pulang-pulang. Seminggu. Sama saja. Sebulan. Tetap begitu. Maka serunai
kesedihan mulai menguar dari igloo mereka.
Gadis kecil itu menunggu senyap
di depan jendela setiap malam. Siapa tahu ayahnya membawa ikan-ikan besar. Tidak
ada. Sama sekali tidak ada kabar tentang ayahnya, kecuali berita kalau ayahnya
terlalu berani berburu, pergi hingga batas hutan yang banyak beruangnya.
Tapi ia tidak ingin rasa sedihnya
menambah kesedihan ibunya. Lihatlah, ibunya yang sedang hamil tua terbaring
lemah di atas ranjang. Sebulan terakhir jatuh sakit. Membuat semakin sulit
situasi. Ibunya tidak bias melakukan apa pun, bergerak aja susah. Maka gadis kecil
itu mulai mengambil alih pekerjaan rumah. Menyelimuti ibunya di setiap malam
menggigil. Membersihkan salju yang menumpuk di depan pintu. Memetik dedaunan
yang tersisa. Memandang sedih perut buncit ibunya yang mengandung adik yang
selalu diharapkanya.
Hingga suatu malam, demam ibunya
tidak kunjung turun. Gadis kecil itu memutuskan untuk meminta pertolongan.
Pergi ke igloo lainnya yang terlihat bercahaya. Ia ingin meminta nyala api. Ia
ingin ibunya hangat malam ini. Tapi ia terima. Ada yang berhak. Ada yang tidak.
Gadis kecil itu tidak pernah paham mengapa dunia harus tercipta perbedaan. Ia
hanya butuh nyala api kecil, untuk membuat ibunya hangat. Sesederhana itu,
tidak-lebih, tidak-kurang.
Malam itu, gadis kecil kita
tertatih-tatih berlari dari satu iglo ke iglo lainnya, di tengah badai salju
yang menggila, tubuhnya kuyup, kakinya gemetar melewati tumpukan salju hingga
paha. Benar-benar percuma, tidak ada yang peduli. Meski ada yang bersimpati,
tapi keluarga itu terlalu takut untuk melanggar aturan.
Menjelang tengah malam, gadis
kecil kita sambil menangis kembali. Tidak ada. Benar-benar tidak ada nyala api
untuk ibunya. Malam ini ia akan melihat lagi pemandangan menyedihkan tersebut.
Suara gemeletuk gigi ibunya, tubuh yang menggigil… Gadis kecil itu menangis,
bergerak mendekat ingin memperbaiki selimut ibunya yang tersingkap.
Tapi ia keliru. Sungguh keliru!
Tidak ada gemeletuk gigi itu lagi. Tidak ada tubuh yang menggigil itu lagi.
Yang ada hanya lengang. Sepi. Ibunya sudah pergi. Selama-lamanya. Tak kuasa menanggung
lebih panjang penderitaam.
Gadis kecil itu menagis tersedu
di depan tubuh ibunya yang sudah membeku. Menciumi wajah kaku ibunya. Berseru,”jagan tinggalkan aku sendiri… aku mohon, Ibu
jangan pergi!”
Amat menyakitkan melihatnya. Dan
lebih menyakitkan lagi saat melihat gadis kecil itu mendongak menatap langit
yang gelap oleh badai. Dgadis itu jatuh terduduk bertanya ke kelamnya langit : mengapa dunia diciptakan dengan perbedaan? .
mengapa manusia bangga sekali dengan perbedaan. Kasta. Kemuliaan. Yang satu
lebih hebat, lebih dihargai, lebih segalanya, sementara yang lain tidak.
Menjelang pagi, gadis kecil itu terhuyung keluar dari igloo. Ia tidak tahu
hendak kemana. Ia sendiri, tanpa ayah, tanpa ibu. Memutuskan pergi… pergi dari
perkampungan yang tidak pernah ia mengertinya. Pergi mencari jawab atas
pertanyaanya. Tidak ada yang tau kemana gadis kecil itu pergi. Tidak ada. Ia
hilang sejak pagi itu. Raib ditelan bumi.
Yang penduduk desa itu tau,
sehari setelah kepergian gadis kecil itu, mendadak badai salju yang mengungkung
desa mereka hampir setahun lenyap. Belum habis keterkejutan mereka, mendadak
ditengah gelap gulita malam, seberkas cahaya indah mucul menghias angkasa.
Itulah aurora.
Tarian cahaya yang sungguh
indah,. Berpilin. Berpadu. Seperti sejuta pelangi. Memberiakan perasaan hangat
dan nyaman bagi yang melihatnya. Menjadi penghibur di malam yang dingin dan
senyap. Itulah aurora…
Sekarang kalian sudah tahu apa
itu aurora??
Singkat
amanat : 1. jadilah kalian orang yang bersimpati kepada tetangga/orang lain
yang membutuhkan pertolongan kita.
2. jangan pernah
membeda-bedakan status orang lain.
Sumber
: terinspirasi dari novel “MOGA BUNDA DISAYANG ALLAH.”